Senin, 03 Oktober 2011

Dua Insan

Semburat matahari pagi meliuk menembus sela daun jambu. Seakan beriringan nafsu tuk segera jatuh dan menghangatkan pipi seorang ibu muda yang sedang masgul duduk di teras rumahnya. Namun cahaya kuning indah itu tak mampu menghangatkan untuk sekedar menarik sobekan tipis bibir indah dengan tahi lalat dibawahnya, membentuk garis senyum. Bibir itu kelu dan semakin tenggelam kedalam, menekuk sendu. Bola mata yang biasanya bening seperti embun pagi dan memancarkan binar kemudaan, terlihat basah dan membiarkan kristal itu terkumpul di pojoknya. Alis tebal indah seakan enggan menari-nari diatas-nya, seolah tahu kegundahan pemilik-nya. Alis itu lunglai dan mendekat lembut ke pelupuk mata, ikut menyelimuti  indah-nya bola mata yang sedang gundah.

Ibu muda itu sontak berdiri saat mendengar suara klakson yang membuyarkan ketertenggelamannya. Kegundahan itu sementara berubah jadi gerutuan  begitu klakson itu menyalak lebih keras  untuk kedua kalinya. Sambil membuka pintu dan belum juga lekukan bulat indah di bagian belakang tubuhnya menyentuh jok mobil, keluar  kata-kata,” Sabar sih! Tidak usah diklaksonpun saya sudah tahu kalau pak Jono datang! Gak enak sama tetangga tau..!” sambil menghempaskan dengan keras bulatan indah itu ke jok mobil. Tanpa menghiraukan mata kekaguman seorang lelaki yang duduk di bangku belakang. Apalagi memperdulikan terpana-nya lelaki itu akan keindahan tubuh yang dibalut kemeja ungu berpadu dengan jins dan sepatu kasual. Lelaki itu hanya mendesah pelan saat tidak terdengar sedikitpun kata “selamat pagi”. Dan lelaki itu hanya mampu untuk meneruskan kekaguman silhouette sepasang mata indah lewat pantulan cermin yang terpasang di penahan cahaya matahari.

Sopir jemputan itu seakan tidak mendengar gerutuan itu. Malah dalam hati mengguman,” Biasanya juga lelet! Kalau tidak diklakson lama keluarnya! Mondar mandir tidak karuan. Kasih uang belanja ke pembantunyalah, bercanda dulu sama anaknyalah, kadang sudah keluar rumah masuk lagilah karena ada yang tertinggal! Seharusnya itu semua bisa disiapin sebelumnya., ini mobil sudah datang, baru grubyak-grubyuk!.

Rasa kesal kepada sopir jemputan itu tetap tidak bisa mengalahkan kegalauan hatinya. Pun  saat dengan kasar pak Jono melibas polisi tidur (garis kejut) komplek tanpa sedikitpun menginjak rem , sampai mobil terasa terbang dan berdentam dengan keras. Pikirannya masih menerawang sehari yang lalu saat mengantar papa ke bangunan putih yang sangat dia benci, Rumah Sakit!

Menari dalam ingatan, wajah papanya yang pucat dan bengkak. Aliran hangat tangan saat dicium, seakan terbendung aliran dingin dari tubuhnya. Kegagahan wajah semakin tunduk kepada kerutan lelah akan hidup ini. Masih belum hilang dalam ratapnya saat tubuh lelaki gagah dalam hidupnya lunglai tak berdaya di bangsal rumah sakit.  Ratap hampir putus asa dari sosok anak terhadap papanya.
“Papa, bangun papa. Bukankah kau sudah berjanji akan menggendong cucu-mu sampai tangan-mu tak kuasa? Bukankah papa sudah janji menemani-ku untuk menjemput cucu-cucu yang akan keluar dari rahimku? Bangun papa, bangun! Aku rindu usapan tangan lembut-mu sambil dari bibir-mu keluar pujian kepadaku bahwa aku bidadari yang terbungkus wangi melati. Aku rindu pujian itu papa, aku rindu.”

“Ya Allah, aku tahu Kau Maha Perkasa,  aku tahu Kau maha Berkehendak, aku tahu aku hanya hamba-Mu Ya Allah. Tapi aku sedikit meminta Maha Pengasih-Mu, Maha Pengampun-mu untuk memberi kesempatan kepada papa-ku. Aku Mohon kepadamu Ya Allah, percikkan nikmat sehat itu kepada papa-ku. Aku masih sangat rindu janji papa Ya Allah, aku masih rindu..” 

Semakin gundah wajah ibu muda itu mengingat dan bagaimana hampir frustasinya, saat beribu-ribu selang berebutan untuk dipasang di tubuh lemah itu. Allahu Akbar! Papa harus transfusi darah!  Tidak sanggup lagi ibu muda untuk menolak ingatan itu menari-nari di otak-nya, sambil menutup wajah ayu itu dengan kedua tangannya. “Ingin rasanya turun dari mobil dan segera lari dan membenamkan diri di empuknya kasur. Tapi, aku sudah dewasa. Aku sudah menjadi ibu dan aku harus sabar dan tabah menghadapi ujian hidup ini. Harus..harus…”, perang ibu muda itu dengan kata hati yang membisikkan ketegaran dengan perasaan sebagai seorang anak yang tak berdaya.

Nampaknya perubahan itu tak luput dari perhatian lelaki yang duduk di bangku belakang. Bagaimana dia menahan butiran kristal itu tidak jatuh saat lelaki yang duduk di bangku belakang secara tiba-tiba bersimpati menanyakan kondisi papa-nya. Dengan gagap ibu muda itu menengok. Dalam hati ibu muda itu berguman,” Kenapa bapak menanyakan itu? Justru hal tersebut yang saat ini ingin saya buang jauh-jauh”.  

Tetapi dijawab juga pertanyaan itu,” Masih di rumah sakit,pak. Malah hasil lab-nya jelek sekali”. Sambil sekuat tenaga menahan kembali butiran kristal itu tidak jatuh.  Lelaki itu tampak mahfum, ketika melihat butiran bening di pojok ibu muda itu sudah tak sabar ingin jatuh ke bumi. Dan tidak meneruskan kembali pertanyaan-nya.

Sepertinya lelaki itu memahami perasaan ibu muda itu, karena apa yang dihadapi hampir sama situasinya dengan apa yang pernah dihadapinya. Bagaimana kesabaran dan ketabahan diaduk-aduk dalam menghadapi dan menemani orang tua yang sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogoti!

Tampak mata lelaki itu menerawang jauh dan terlihat butiran bening malu-malu berkumpul di sudut matanya!  Berkelebat peristiwa hampir dua tahun silam, saat lelaki itu harus melepas bundanya rontok ke pangkuan bumi! Bagaimana tak kuasa-nya lelaki itu menahan ketegaran semu yang dia pertahankan. Ketegaran itu tumbang! Padahal ketegaran itu sudah dipertahankan secara semu bertahun tahun! Rasa marah kepada bunda-nya, rasa durjana kepada bapaknya, bercampur dengan kehilangan identitas dan arah karena harus menerima konsekuensi perceraian mereka! Ketegaran yang menafikkan rasa rindu kepada ibunya, adik-adiknya apalagi kepada bapaknya. Bara itu dengan sadis dipadamkan! Ketegaran semu itu sukses dipertahankan bertahun-tahun, dan membentuk lelaki itu pribadi yang angkuh, tapi rapuh!

Ketegaran semu itu diuji saat melihat bunda-nya tergolek layu dengan sisa tenaga terakhir mempertahankan kelekatan di raga-nya, lelaki itu tak berdaya! Ginjal yang sudah rusak akibat komplikasi diabetes, berusaha dengan sekuat tenaga hampir 2 tahun menahan sukma bunda melekat di raganya. Berapa biaya yang susah payah dikumpulkan secara patungan oleh anak-anaknya terampas untuk membantu bundanya bertahan. Tetapi akhirnya bunda-nya rontok tanpa sedikitpun lelaki itu sempat tuk hanya sekedar memegang sebelum jatuh ke bumi! Bahkan tidak sempat mengantar ke pelukan bumi!  

Butiran bening di sudut mata lelaki itu tak terbendung, tumpah tanpa sedikitpun diketahui ibu muda yang duduk di bangku depan, yang masih menerawang dan tenggelam dalam kekosongan.  Sambil mengusap butiran bening di sudut matanya, lelaki itu berguman, ” Semoga bunda tetap mengeluarkan bau harum dari bumi. Aku selalu menyayangimu dan mendoakan-mu…selalu”.  Terlintas penyesalan itu semakin jelas, bara yang sudah menyala, baru saja dinikmati lelaki itu 3 tahun sebelum ibunya meninggal! Padahal usianya kini sudah menginjak paruh baya. Tak terbayangkan bagaimana perjuangannya dalam memadamkan bara rindu itu selama hidupnya. Selagi belum puas mereguk, ibunya telah berpulang………
Dengan mengarahkan pandangan ke ibu muda yang memunggunginya, bibir lelaki itu bergetar menggumankan dalam hati doa dan semangat kepada ibu muda  yang memang akhir-akhir ini “menghantui” lorong hati lelaki itu.

”Yang sabar melati, tebarkan terus wangi sayang-mu, semoga itu membantu penyembuhan papa tercinta-mu. Tularkan terus semangat menggapai janji papamu, supaya janji itu dengan indah dibayar papa-mu saat mungkin akan lahir cucu-cucu hasil buah cinta-mu dengan kekasihmu sekaligus teman hidupmu, suami-mu tersayang.  Jangan sampai penyesalan yang kualami menimpamu. Gapailah kesempatan itu selagi masih ada. Terus gapai..terus gapai…dan terus gapai sekuat tenagamu. Amin..amin  YRA”

Keluruhan pikiran ibu muda dan lelaki itu sempat buyar dengan suara menggelegar pak Jono, “DASAR GOBLOK! Nyalip dari sebelah kiri!’ Sambil menggoyangkan setir kearah kiri untuk menghalangi pengendara motor yang berusaha menyalip dari sebelah kiri. Sampai spion hampir menyentuh pengendara motor yang sudah terlanjur masuk. Ibu muda dan lelaki itu hanya menengok sekilas, bukan kearah pengendara motor, tapi kearah pak Jono!  Mendengus pelan sambil mengembalikan pandangan kearah depan menahan rasa kesal kepada bapak Jono! Umur sudah uzur, tetapi kadang kelakuan semakin membuat kesal orang. Apa salahnya menyalip dari sebelah kiri kalau keadaan lagi macet? Toh masih ada ruang untuk motor, kenapa harus sewot? Tidak ingatkah pak Jono dengan beringas menyalip dari bahu jalan tol saat terbakar panas disalip mobil lain? Tahu dirilah, segala sesuatu akan kita alami juga.

Mobil buatan Jepang yang mengantarkan kedua insan itu akhirnya tiba di gerbang tempat keduanya mengais madu kehidupan. Sapaan hangat security, masih tak mampu membuyarkan keluruhan pikiran dua insan itu. Entah kecamuk apa yang ada……

Kramatwatu Serang, 2 Oktober 2011
nDods

Tidak ada komentar:

Posting Komentar