Semburat
matahari pagi meliuk menembus sela daun jambu. Seakan beriringan nafsu tuk
segera jatuh dan menghangatkan pipi seorang ibu muda yang sedang masgul duduk
di teras rumahnya. Namun cahaya kuning indah itu tak mampu menghangatkan untuk
sekedar menarik sobekan tipis bibir indah dengan tahi lalat dibawahnya,
membentuk garis senyum. Bibir itu kelu dan semakin tenggelam kedalam, menekuk
sendu. Bola mata yang biasanya bening seperti embun pagi dan memancarkan binar
kemudaan, terlihat basah dan membiarkan kristal itu terkumpul di pojoknya. Alis
tebal indah seakan enggan menari-nari diatas-nya, seolah tahu kegundahan
pemilik-nya. Alis itu lunglai dan mendekat lembut ke pelupuk mata, ikut
menyelimuti indah-nya bola mata yang
sedang gundah.
Ibu
muda itu sontak berdiri saat mendengar suara klakson yang membuyarkan
ketertenggelamannya. Kegundahan itu sementara berubah jadi gerutuan begitu klakson itu menyalak lebih keras untuk kedua kalinya. Sambil membuka pintu dan
belum juga lekukan bulat indah di bagian belakang tubuhnya menyentuh jok mobil,
keluar kata-kata,” Sabar sih! Tidak usah
diklaksonpun saya sudah tahu kalau pak Jono datang! Gak enak sama tetangga
tau..!” sambil menghempaskan dengan keras bulatan indah itu ke jok mobil. Tanpa
menghiraukan mata kekaguman seorang lelaki yang duduk di bangku belakang. Apalagi
memperdulikan terpana-nya lelaki itu akan keindahan tubuh yang dibalut kemeja
ungu berpadu dengan jins dan sepatu kasual. Lelaki itu hanya mendesah pelan
saat tidak terdengar sedikitpun kata “selamat pagi”. Dan lelaki itu hanya mampu
untuk meneruskan kekaguman silhouette sepasang mata indah lewat pantulan cermin
yang terpasang di penahan cahaya matahari.
Sopir
jemputan itu seakan tidak mendengar gerutuan itu. Malah dalam hati mengguman,” Biasanya
juga lelet! Kalau tidak diklakson lama keluarnya! Mondar mandir tidak karuan.
Kasih uang belanja ke pembantunyalah, bercanda dulu sama anaknyalah, kadang sudah
keluar rumah masuk lagilah karena ada yang tertinggal! Seharusnya itu semua
bisa disiapin sebelumnya., ini mobil sudah datang, baru grubyak-grubyuk!.
Rasa
kesal kepada sopir jemputan itu tetap tidak bisa mengalahkan kegalauan hatinya.
Pun saat dengan kasar pak Jono melibas polisi
tidur (garis kejut) komplek tanpa sedikitpun menginjak rem , sampai mobil
terasa terbang dan berdentam dengan keras. Pikirannya masih menerawang sehari
yang lalu saat mengantar papa ke bangunan putih yang sangat dia benci, Rumah
Sakit!
Menari
dalam ingatan, wajah papanya yang pucat dan bengkak. Aliran hangat tangan saat
dicium, seakan terbendung aliran dingin dari tubuhnya. Kegagahan wajah semakin
tunduk kepada kerutan lelah akan hidup ini. Masih belum hilang dalam ratapnya
saat tubuh lelaki gagah dalam hidupnya lunglai tak berdaya di bangsal rumah
sakit. Ratap hampir putus asa dari sosok
anak terhadap papanya.
“Papa,
bangun papa. Bukankah kau sudah berjanji akan menggendong cucu-mu sampai
tangan-mu tak kuasa? Bukankah papa sudah janji menemani-ku untuk menjemput
cucu-cucu yang akan keluar dari rahimku? Bangun papa, bangun! Aku rindu usapan
tangan lembut-mu sambil dari bibir-mu keluar pujian kepadaku bahwa aku bidadari
yang terbungkus wangi melati. Aku rindu pujian itu papa, aku rindu.”
“Ya
Allah, aku tahu Kau Maha Perkasa, aku
tahu Kau maha Berkehendak, aku tahu aku hanya hamba-Mu Ya Allah. Tapi aku
sedikit meminta Maha Pengasih-Mu, Maha Pengampun-mu untuk memberi kesempatan
kepada papa-ku. Aku Mohon kepadamu Ya Allah, percikkan nikmat sehat itu kepada
papa-ku. Aku masih sangat rindu janji papa Ya Allah, aku masih rindu..”
Semakin
gundah wajah ibu muda itu mengingat dan bagaimana hampir frustasinya, saat
beribu-ribu selang berebutan untuk dipasang di tubuh lemah itu. Allahu Akbar!
Papa harus transfusi darah! Tidak
sanggup lagi ibu muda untuk menolak ingatan itu menari-nari di otak-nya, sambil
menutup wajah ayu itu dengan kedua tangannya. “Ingin rasanya turun dari mobil
dan segera lari dan membenamkan diri di empuknya kasur. Tapi, aku sudah dewasa.
Aku sudah menjadi ibu dan aku harus sabar dan tabah menghadapi ujian hidup ini.
Harus..harus…”, perang ibu muda itu dengan kata hati yang membisikkan ketegaran
dengan perasaan sebagai seorang anak yang tak berdaya.
Nampaknya
perubahan itu tak luput dari perhatian lelaki yang duduk di bangku belakang. Bagaimana
dia menahan butiran kristal itu tidak jatuh saat lelaki yang duduk di bangku
belakang secara tiba-tiba bersimpati menanyakan kondisi papa-nya. Dengan gagap
ibu muda itu menengok. Dalam hati ibu muda itu berguman,” Kenapa bapak
menanyakan itu? Justru hal tersebut yang saat ini ingin saya buang jauh-jauh”.
Tetapi
dijawab juga pertanyaan itu,” Masih di rumah sakit,pak. Malah hasil lab-nya
jelek sekali”. Sambil sekuat tenaga menahan kembali butiran kristal itu tidak
jatuh. Lelaki itu tampak mahfum, ketika
melihat butiran bening di pojok ibu muda itu sudah tak sabar ingin jatuh ke
bumi. Dan tidak meneruskan kembali pertanyaan-nya.
Sepertinya lelaki itu memahami perasaan ibu muda itu, karena apa
yang dihadapi hampir sama situasinya dengan apa yang pernah dihadapinya.
Bagaimana kesabaran dan ketabahan diaduk-aduk dalam menghadapi dan menemani
orang tua yang sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogoti!
Tampak mata lelaki itu menerawang jauh dan terlihat butiran bening
malu-malu berkumpul di sudut matanya! Berkelebat
peristiwa hampir dua tahun silam, saat lelaki itu harus melepas bundanya rontok
ke pangkuan bumi! Bagaimana tak kuasa-nya lelaki itu menahan ketegaran semu
yang dia pertahankan. Ketegaran itu tumbang! Padahal ketegaran itu sudah dipertahankan
secara semu bertahun tahun! Rasa marah kepada bunda-nya, rasa durjana kepada bapaknya,
bercampur dengan kehilangan identitas dan arah karena harus menerima
konsekuensi perceraian mereka! Ketegaran yang menafikkan rasa rindu kepada
ibunya, adik-adiknya apalagi kepada bapaknya. Bara itu dengan sadis dipadamkan!
Ketegaran semu itu sukses dipertahankan bertahun-tahun, dan membentuk lelaki
itu pribadi yang angkuh, tapi rapuh!
Ketegaran semu itu diuji saat melihat bunda-nya tergolek layu
dengan sisa tenaga terakhir mempertahankan kelekatan di raga-nya, lelaki itu
tak berdaya! Ginjal yang sudah rusak akibat komplikasi diabetes, berusaha
dengan sekuat tenaga hampir 2 tahun menahan sukma bunda melekat di raganya. Berapa
biaya yang susah payah dikumpulkan secara patungan oleh anak-anaknya terampas untuk
membantu bundanya bertahan. Tetapi akhirnya bunda-nya rontok tanpa sedikitpun lelaki
itu sempat tuk hanya sekedar memegang sebelum jatuh ke bumi! Bahkan tidak
sempat mengantar ke pelukan bumi!
Butiran bening di sudut mata lelaki itu tak terbendung, tumpah
tanpa sedikitpun diketahui ibu muda yang duduk di bangku depan, yang masih
menerawang dan tenggelam dalam kekosongan. Sambil mengusap butiran bening di sudut
matanya, lelaki itu berguman, ” Semoga bunda tetap mengeluarkan bau harum dari
bumi. Aku selalu menyayangimu dan mendoakan-mu…selalu”. Terlintas penyesalan itu semakin jelas, bara
yang sudah menyala, baru saja dinikmati lelaki itu 3 tahun sebelum ibunya
meninggal! Padahal usianya kini sudah menginjak paruh baya. Tak terbayangkan
bagaimana perjuangannya dalam memadamkan bara rindu itu selama hidupnya. Selagi
belum puas mereguk, ibunya telah berpulang………
Dengan mengarahkan pandangan ke ibu muda yang memunggunginya,
bibir lelaki itu bergetar menggumankan dalam hati doa dan semangat kepada ibu
muda yang memang akhir-akhir ini
“menghantui” lorong hati lelaki itu.
”Yang sabar melati, tebarkan terus wangi sayang-mu, semoga itu
membantu penyembuhan papa tercinta-mu. Tularkan terus semangat menggapai janji
papamu, supaya janji itu dengan indah dibayar papa-mu saat mungkin akan lahir
cucu-cucu hasil buah cinta-mu dengan kekasihmu sekaligus teman hidupmu,
suami-mu tersayang. Jangan sampai
penyesalan yang kualami menimpamu. Gapailah kesempatan itu selagi masih ada.
Terus gapai..terus gapai…dan terus gapai sekuat tenagamu. Amin..amin YRA”
Keluruhan pikiran ibu muda dan lelaki itu sempat buyar dengan
suara menggelegar pak Jono, “DASAR GOBLOK! Nyalip dari sebelah kiri!’ Sambil
menggoyangkan setir kearah kiri untuk menghalangi pengendara motor yang
berusaha menyalip dari sebelah kiri. Sampai spion hampir menyentuh pengendara motor
yang sudah terlanjur masuk. Ibu muda dan lelaki itu hanya menengok sekilas,
bukan kearah pengendara motor, tapi kearah pak Jono! Mendengus pelan sambil mengembalikan
pandangan kearah depan menahan rasa kesal kepada bapak Jono! Umur sudah uzur,
tetapi kadang kelakuan semakin membuat kesal orang. Apa salahnya menyalip dari
sebelah kiri kalau keadaan lagi macet? Toh masih ada ruang untuk motor, kenapa
harus sewot? Tidak ingatkah pak Jono dengan beringas menyalip dari bahu jalan
tol saat terbakar panas disalip mobil lain? Tahu dirilah, segala sesuatu akan
kita alami juga.
Mobil buatan Jepang yang mengantarkan kedua insan itu akhirnya
tiba di gerbang tempat keduanya mengais madu kehidupan. Sapaan hangat security,
masih tak mampu membuyarkan keluruhan pikiran dua insan itu. Entah kecamuk apa
yang ada……
Kramatwatu Serang, 2 Oktober 2011
nDods
Tidak ada komentar:
Posting Komentar