Setiap kali kulewati perempatan yang sama, lampu merah yang sama, kulihat sosok yang sama. Baju kumal yang entah sudah berapa abad tidak menyentuh detergent, mata sayu namun selalu menyungging senyum setiap tangannya menengadah dengan bibir bergetar berkata “Nak,…..? Yah, Cuma kata itu “Nak”! Langsung berkelebat sosok mertua perempuan di kampung, seakan bagai booster untuk segera menggerakkan tangan meraih coin di saku baju sebelah kiriku, namun…rasa ego yang besar bagai kekuatan yang maha dahsyat menggerakkan tangan kanan lebih cepat dari tangan kiri saya yang akan mengambil koin atau sekedar ribuan, dan…maaf Bu !. Meluncur dengan derasnya kata-kata itu dari bibir dan gerakkan tangan kanan yang mengisyaratkan “tidak”. Ah.. begitu besarnya-kah ego saya?, begitu tipiskah empati saya? Ada apa dengan saya?
Salahkah aku dengan begitu beratnya persaingan untuk sekedar mempertahankan hidup, aku begitu egois. Bekerja dan bekerja, berangkat pagi pulang malam karena ketakutan akan teriakan jagoan-jagoanku minta susu yang harganya sudah menyedot hampir setengah budget bulanan, prihatinku kepada bidadariku yang tidak sempat mempercantik diri karena begitu sibuk mengurus jagoanku karena aku tidak mampu untuk membayar seorang pembantu rumah tangga? Ketakutan membayangkan seandainya bidadariku sambil menggendong jagoanku, berdiri di perempatan yang sama, lampu merah yang sama, sambil menengadahkan tangan ”Om, kasihanilah om”. Siapakah yang peduli? Untuk keluargaku, memang harus aku yang menanggung beban itu. Tapi untuk kondisi umum begini, haruskah aku yang menanggung beban itu semua. Haruskah? Dimanakah empatiku?
Kalau aku boleh bertanya kembali, dimana empati para pengecut yang menjadi semakin kurang ajar memakan uang yang bukan miliknya, keserakahan si sombong yang semakin brutal mengeruk harta tanpa memperhatikan si lemah yang tak berdaya untuk menjumput butir demi butir beras, penguasa yang semakin buta melihat wajah-wajah rakyatnya yang mirip srigala dengan tipu muslihatnya, mirip babi najis yang makan segala, tak peduli haram atau halal. Penguasa yang tidak mempunyai hati singa untuk membunuh si sombong, si pengecut, babi-babi dan srigala-srigala yang hidup di istanamu. Kemana empati saudaraku yang disibukkan dengan ritual keagamaan, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan. Jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagaman, dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah sementara dipinggirnya banyak orang mengemis mencari sesuap nasi, tidur dibawah kolong jembatan, disaat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit Dimanakah?Haruskah belajar empati melalui kemiskinan?
Sangat disayangkan empati itu datang begitu deras menghujam dengan datangnya suatu peristiwa atau menjelang hari-hari besar keagamaan (bulan romadhon, Natal, Tahun Baru China dll). SMS yang berisi permohonan maaf sudah menunjukkan itu semua. Orang jadi gemar bersedekah, menolong sesama, memaafkan yang itu semua akan sulit didapatkan di bulan-bulan biasa. Lebih menggelikan lagi empati itu keluar dengan konteks Nazar.., semisal kalau saya lulus ujian, semisal saya naik pangkat dan lain-lain. Saya akan santuni yatim piatu. Kenapa harus menunggu itu semua..??? Alangkah indahnya kalau hal tersebut terjadi tiap detik, tiap menit, jam, hari, bulan, tahun. Aaah....alangkah indahnya. Rasa empati yang terasah terus menerus akan menimbulkan suatu kondisi yang indah, bahagia dan tanpa permusuhan. Tidak ada lagi permusuhan, egosentris dan pemaksaan kehendak untuk menyampaikan suatu yang dianggap benar dan itu memang suatu kebenaran, tetapi dalam penyampaiannya dengan cara anarkis, gebuk-gebukan, gontok-gontokan. Yang pada akhirnya kebenaran yang akan disampaikan menjadi bias. Sayang sekali kebenaran yang akan disampaikan itu.
Semoga apa yang terjadi dengan saya, saudara-saudara, sahabat bisa menjadi suatu yang lebih baik. Seperti yang diajarkan Rasulullah yang sangat menekankan pentingnya mengembangkan sikap empati ini.
"Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempati di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."
Pengendalian hawa nafsu untuk kesempurnaan dalam hidup dunia dan akhirat.
Semoga......
Tips untuk mengembangkan rasa empati:
"Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempati di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."
Pengendalian hawa nafsu untuk kesempurnaan dalam hidup dunia dan akhirat.
Semoga......
Tips untuk mengembangkan rasa empati:
- Biasakan dari hal-hal yang sederhana. Contoh menawarkan makanan yang kita bawa sewaktu istirahat, berbagi rokok mungkin (Mas Bram...masih Country-kah???), dan sedikit menyisihkan uang koin untuk pengemis di perempatan. Dengan iklas tanpa berburuk sangka apakah itu pura-pura atau bagaimana. J
- Jangan selalu berpikir “Mengapa sih kita harus berempati?” tapi kita harus berpikir “MENGAPA TIDAK KITA HARUS BEREMPATI, TOH NGGAK MERUGIKAN”.
- Jangan merasa derajat kita lebih tinggi dari orang lain, tetapi selalu ingat bahwa kehidupan itu seperti roda, kadang kita di atas, kadang kita di bawah.
- Jangan kita memberikan perhatian atau bantuan hanya kepada orang yang menurut kita akan menguntungkan kita saja.
- Janganlah selalu jalan-jalan ke mal, cobalah jalan-jalan ke tempat di mana banyak orang susah yang berkumpul di sana, pasar atau lorong-lorong kota mungkin. Dengan itu kita akan melihat ada sisi lain dari kehidupan manusia.
- Selalu tebarkan senyum kepada orang lain tapi jangan kebanyakan..entar dikira miring lagi ...!!
Gerem Merak,1 Maret 2009
(Sorry buat Pak Kahlil Gibran sama Cak Nun...ada cukilan kata-katanya yang saya jiplak!)
Dodi Suprapto
(Sorry buat Pak Kahlil Gibran sama Cak Nun...ada cukilan kata-katanya yang saya jiplak!)
Dodi Suprapto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar