Sabtu, 09 Juli 2011

ANTARA SAYA, SENGKUNI DAN KONDISI SEKARANG


Pusing mikiran kondisi sekarang, akhirnya kita harus “mengalah”. Bukan arti secara harafiah mengalah adalah pasrah, nrimo atau istilah mas mBrams,”let it flow”. Tapi mengalah dalam arti mengalah terhadap kondisi sekarang yaitu krisis gombal…eh keliru, krisis global yang menurut hikayat-nya juga berpengaruh terhadap negeri kita tercinta. Dan indicator krisis ekonomi global terus bermunculan dan semakin merambah ke berbagai sector karena melemahnya permintaan global yang otomatis akan memacetkan industri. Karena itu, efek itu wajib dan harus diterima oleh kita semua baik yang bekerja di sector industri maupun yang berwirausaha. 

Akhirnya pakem efisiensi yang boleh dikata suatu kebijakan yang tidak populer dipakai untuk Membalance-kan” antara cost dan income. Tentunya azas berkeadilan harus tetap dipakai untuk menjalankan kebijakan itu. Whatever-lah apakah itu dipakai atau tidak..tetapi kembali maksud awal saya adalah bagaiamana kita bisa ”mengalah” dengan kondisi itu, tetapi kita bisa ”survive” di dalamnya. Bukan secara institusi-lho tetapi as personal view for personal motivation. Kalau boleh meminjam istilah di dalam teori evolusi mas Darwin (yang sudah capee deh..mencari pembuktian proses evolusi kera mejadi manusia, akhirnya dengan frustasinya dia bilang. ”Ceu urang eta mah -missing link-”!!. Gampang ya..), dalam proses evolusi ada proses yang namanya seleksi alam. Dan katanya mahluk hidup yang bisa survive adalah ....SURVIVAL OF THE FITTEST, yang dalam penafsiran umum adalah ‘ yang terkuat yang menang atau lebih dikenal dengan hukum rimba.

Trus apa hubungannya?... ya ada dong.. Marilah kita menggunakan istilah itu sebagai senjata utama supaya kita bisa sukses ”survive” di kondisi ini. Berarti kita harus menjadi kuat dan garang seperti macan (nota bene penguasa hukum rimba) dan menggunakan kekuatan itu untuk protes keras, diskusi keras atau keras-keras lain yang kadangkala hanya ”keras” doang kepada pengeluar kebijakan? Tentu tidak. Kalau itu anda jalankan.... rugi, buang-buang energi, alias percuma. Kenapa saya bilang begitu...kalau boleh saya analogikan dengan teori tadi, kita anggap kondisi di perusahaan sekarang sebagai ”ekosistem” dan kita sebagai ”mahluk hidup” penghuni ekosistem itu. Sudah menjadi teori umum khan bahwa mana mungkin sebagai suatu ”ekosistem” menyesuaikan diri dengan ”mahluk hidup”-nya? Yang ada adalah mahluk hidupnya itu sendiri yang harus menyesuaikan (bisa survive). Iya tho..., betul tidak? 

Terus..? ya terus... he..he.. Ya balik lagi.. bahwa yang survive adalah SURVIVAL OF THE FITTEST!.Tapi tunggu dulu.. Artikel dari mas Jaya Suprana yang pernah saya baca di kompas kira-kira begini: bahwa kita sudah salah tafsir dan salah duga, siapa yang mencetuskan slogan itu pertama kali. Kita gamblangkan dulu penafsiran slogan itu yang pertama dicetuskan mas Darwin bahwa yang terkuat/bugar adalah yang survive (penafsiran awal dari arti survival of the fittest). Nah disinilah kekeliruannya…sebenarnya slogan ‘survival of the fittest” bukan dicetuskan mas Darwin…tetapi mas Herbert Spencer. Lha wong sudah salah mengira siapa pencetusnya, apalagi manafsirkannya. Kita ambil istilah “fittest” saja yang memang berpotensi mempunyai multi tafsir. Fittest merupakan bentuk superlative dari kata “fit” yang arti harafiahnya adalah bugar, perkasa, kuat. Tetapi “fit” disini adalah dalam makna “be the right size, be appropriate, be compatible” alias serasi, selaras, sesuai, cocok atau pas gitu loh….. dan terbukti tho.. bahwa mahluk hidup yang mampu bertahan hidup (survive) bukan yang paling kuat ragawinya, melainkan yang mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Kita tahu bagaimana kuat dan perkasanya Dinosaurus, tetapi buktinya yang masih mampu bertahan sampai sekarang adalah kecoak dan berbagai jenis bakteri yang terkesan relative tidak perkasa, tetapi mampu lentur menyesuaikan, menyelaraskan dan menyerasikan diri dengan perubahan lingkungannya. 

Kalau gak percaya kita buktikan lagi di jagad nyata…bagaimana super powernya zaman Soeharto, tetapi karena tidak mempu menyesuaikan, menyelaraskan dan menyerasikan diri dengan perubahan perubahan zaman…akhirnya tumbang juga. Bagaimana seorang Gus Dur yang sudah dianggap oleh warga NU seperti orang dari langit, tidak mampu bertahan karena “tidak mau” menyelaraskan diri dengan realita kekuatan politik pada masa kepresidenannya. 

Jadi…….. supaya bisa survive di ekosistem kita yang memang akan berubah-ubah adalah: lenturkan, selaraskan dan harmonikan diri dengan ekosistem yang kita huni. Percumah lah kita cape-cape unjuk kekuatan karena ternyata di ecosystem kita pasti masih ada yang lebih “macan” lagi!! Hiiiii…. Eiit..! tunggu dulu. Itupun kalau you still want to be part of this ecosystem. If you do not, there’s so many ecosystem out there that can be your alternative choice. But be wise and be your consideration, wherever you go, fit your self.

Kalau boleh meminjam istilah mas mBrams lagi …. Let it flow.. tetapi tetap mencari cara agar kita bisa menari-nari dan menikmati arus itu sesuai dengan keinginan kita, seperti rafting lah (arung jeram). Atau dalam kata bijak Jawa “ngeli tapi ora keli” yaitu ikut arus tetapi gak kebawa arus!. Bingung?..saya sendiri juga bingung he..he., intinya tetap kita “mengalah” mengikuti arus, tetapi bagaimana kita bisa bertahan dari arus itu, kalau kita bisa nikmat dengan arus itu. Cocok khan dengan arung jeram (rafting). Itu mungkin filosophi-nya. Jreng…jreng. 

Satu lagi….biar input sosial kita bagus. 
Kalau bisa jangan meniru atau sebagai perwujudan seorang SENGKUNI.., mau tau siapa Sengkuni? Sengkuni adalah tokoh wayang Jawa yang menjabat sebagai patih di Negara Astina. Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan seperti pecandu. Cara bicaranya “klemak-klemek/mendayu-dayu” terkesan menjengkelkan, yang mempunyai sifat cenderung berbuat licik, senang menipu, munafik, senang memfitnah, senang menghasut, senang mencelakakan orang lain, dan iri hati. Dan mempunyai sisi gelap jiwa Sengkuni selalu menyimpan suatu dorongan sadis, yaitu “biarlah orang lain menderita!” kecenderungan-kecenderungan kasar yaitu ingin mempertahankan dirinya (survive) tetapi orang lain harus dikorbankan dengan segala cara. Jangan remehkan tokoh ini! 

Terakhir… jangan pernah mempunyai anggapan...” Hubungan saya dengan Tuhan sudah baik, kenapa saya harus berhubungan baik dengan orang?” Lhooooo……??? Piye tho.. lupa ya bahwa Tuhan tidak pernah tidur!! Khan percuma apabila kita sudah dengan susah payah menjalankan ritual agama, tetapi input sosial kita jelek, yang sebenarnya dalam ritual itu terkandung makna yang dalam selain sebagai output kita kepada Tuhan, juga sebagai pedoman output sosial kita?? 

Sik….sik…sik, kalau dipikir-pikir yang saya tulis diatas sepertinya yang cocok dengan kondisi sekarang adalah SEngkuni deh. Dia mampu menyelaraskan diri dengan kondisi apapun. Bisa menjadi musuh dalam selimut, karena dengan tipu dayanya, kelicikannya tidak akan kelihatan bahwa dia adalah teman atau lawan. Saya yakin dia akan survive di ekosistem manapun. Dan jaman sekarang tokoh-tokoh similar seperti Durna, Duryudana lebih colorful dibanding dengan Arjuna yang “terlalu sempurna” sebagai seorang kesatria, ataupun Yudhistira yang terlalu jujur dan terkesan jauh dari segala dosa dan kesalahan. Dan lihat saja sekarang….berapa jumlah Macan, Singa ataupun gajah yang tersisa dimuka bumi ini dibanding dengan TIKUS yang populasinya hampir mendekati populasi manusia…..???????? Hayooooooo………. 


Oh Sengkuni….maukah kau menjadi idolaku…..?????? Xi…xi…xi…. Guyon. Semuanya tergantung anda, mau jadi kecoak, bakteri, tikus, Sengkuni, Arjuna, Yudhistira atau mau menjadi Dodi Suprapto….he…he. Tetapi tetap yang menjadi idola saya adalah kategori orang yang mempunyai soft power” tetapi mempunyai daya ledak luar biasa, seperti Mahatma Ghandi dan Dai Lama dan jangan lupa binatang kesayanganku….BAKTERI!! wow…kamu kecil, lemah, tapi….kau mampu hidup dimanapun. Dan kalau kamu ber-ulah……BUM!!! …..hancurlah dunia. 


Gerem Merak, 27 Desember 2008 
Dodi Suprapto 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar