
Bagi sejawat-ku yang beragama Nasrani, mungkin sudah lewat perayaan natal dan juga sudah beraktifitas seperti biasa setelah “lumayan” libur 4 hari dari hari Kamis. Dan mungkin juga bagi sejawat-ku yang beragama Nasrani saat ini tinggal meneruskan dan berusaha mewujudkan semangat natal dalam kehidupan sehari-hari. Namuun… bagi saya setiap datangnya hari natal atau hari besar agama yang kebetulan “lain” dengan keyakinan saya saat ini, yaitu sebagai seorang muslim, pertanyaan saya berulang setiap kali datangnya perayaan natal atau hari besar agama lain. Alasan apa dan mengapa setiap kali saya mengucapkan selamat hari natal, selamat galungan, selamat waisak atau selamat-selamat lain selain Idul Fitri, selalu kata “haram” yang disampaikan ke saya? Haramkah? Ya saya bingung bin bengong setiap rekan muslim menyatakan itu ke saya. Apalagi saya yang kurang begitu “dalam’ masalah pemahaman itu. Timbul-lah sekarang keraguan di dalam hati setiap saya mau mengucap selamat natal ke temen atau sejawat yang kebetulan bukan muslim. Padahaaalll…. Setiap saya merayakan Idul Fitri… hampir tidak pernah absent teman-teman yang non muslim mengucapkan dengan antusias.. malah dengan kata yang lazim diucapkan oleh seorang muslim apabila mungucapkan selamat Idhul Fitri kepada saya. Rasanya tidak adil kalau saya tidak membalas dengan hal yang sama apabila mereka sedang merayakan hari besar agamanya. Kenapa yaaa…???? Nyuwun sewu pengetahuan sederhana saya, menyampaikan atau memberi congratulation itu khan salah satu niat baik, kok malah jadi haram ya..dan menjadi sesuatu yang berdosa ? Sebagai orang yang agak “idiot” masalah agama, pertanyaan besar itu yang selalu muncul…KENAPA??
Kalau pemahaman sederhana dari saya.., sekali lagi pemahaman saya selama ini mengenai hal tersebut, analogi sederhana saja. Bagaimana orang lain mau menghormati kita sedangkan kita sendiri gak mau, malah meng-haram-kan menghormati orang lain. Jadi saya kira bisa menjadi suatu hal yang mustahil slogan keren KERUKUNAN UMAT BERAGAMA bisa terwujud di negeri ini yang notabene, kenyataan, actual tak terbantahkan bahwa negeri kita adalah negeri yang sangat-sangat majemuk. Apakah kita harus memaksakan kondisi yang homogen di suatu tatanan yang heterogen? Suatu yang tidak terbantahkan juga bahwa Indonesia lahir dari perjuangan semua golongan (majemuk), tidak oleh etnis tertentu atau agama tertentu. Tapi dari darah dan keringat kemajemukannya itu sendiri. Dan menjadi suatu yang “wajib” kalau Indonesia harus menjadi Ibu Pertiwi bagi suku bangsa dari Sabang sampai Merauke dan tentunya dengan kepercayaan/agama yang dibawanya. Suatu yang logis pula kalau setiap warga negaranya mempunyai kebebasan dalam memeluk agama, memiliki kebebasan pula untuk merayakan dan menjalankan keyakinannya. Konsekwensinya sangat jelas, bahwa kita harus menghormati penganut agama lain tho. Bukan begitu..? Semangat Bhineka Tunggal Ika sudah begitu tipiskah? Itu cita-cita founding father kita lho… Sehingga logis pula kalau negeri ini penuh dengan pertikaian, yang ironisnya katanya negeri yang agamis. Karena dari kondisi yang majemuk ini, semangat perdamaian, semangat kasih sayang tidak ada dalam sanubari rakyatnya. Semangat menghormati perbedaan masih dalam koridor kemunafikan yang bias! Benar disalahkan dan berdosa, salah dibenarkan dan mendapat pahala. Membingungkan..!
Sebenarnya moment yang tepat dan penting untuk menyampaikan pesan perdamaian, kasih sayang dan menghormati perbedaan justru pada saat momen perayaan keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, Waisak dan lain-lain. Karena momen-momen tersebutnya biasanya “keimanan” seseorang menjadi berlipat-lipat. Tetapi sungguh sangat ironi pada saat keimanan seseorang begitu tinggi, disentilkan “sesuatu” yang sangat sensitive mengenai agama-nya. Dan sedihnya itu kadangkala atau malah seringkali dilakukan oleh pemuka-pemuka agama yang tentunya juga segala statement yang keluar dari beliau-beliau sangat-sangat diyakini sebagai suatu kebenaran. Dan sayang-nya hal yang disampaikan itu kontra produktif dengan semangat saling menghormati itu. Mengobarkan semangat kebencian, mengobarkan peperangan dan kobar-kobar yang lain. Dan salah satunya yang masih menjadi pertanyaan saya... mengharamkan pengucapan selamat kepada agama lain dalam merayakan hari besar agamanya. Yang bagi saya...minta maaf malah hal tersebut akan membangunkan sikap antipati, kebencian dan bisa menimbulkan ketegangan. Dan biasanya... para Sengkuni-Sengkuni Modern yang mempunyai nafsu luar biasa atas kekuasaan (politikus jemblung) sudah siap-siap memanfaatkan kondisi tersebut untuk tujuannya.Saya sendiri, minta maaf akhirnya timbul rasa curiga bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan itu murni sebagai suatu hal yang murni dari agama, atau malah fatwa yang bermuatan politis yang memanfaatkan politisasi agama, yang memang saat ini sebagai kendaraan sekelas ”mercy” untuk bisa mencabik-cabik kerukunan agama atau menancapkan doktrin-doktrin bias untuk meng-idiotkan pemeluk agama. Sehingga sikap umat beragama menjadi sosok yang naif, kolot dan mudah marah. Akibatnya sudah jelas, bangsa, masyarakat dan agama yang paling dirugikan. Kalau kondisi tersebut sudah terjadi, semudah membalikan tangan seorang yang berjiwa Sengkuni mengobrak-abrik tatanan untuk tujuan-nya.
Tambah parah lagi cara beragama kita yang cenderung ekstrinsik, yaitu memandang agama sebagai suatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan sedemikian rupa Cuma untuk status.!! Biar orang menghargai dirinya. Ini lho saya orang yang beragama.., ini lho saya orang baik.., ini lho saya berjenggot, ini lho saya berkalung salib, ini lho saya pergi ke masjid, ini lho saya pergi ke gereja, ini lho saya pergi ke pura, ini lho saya pergi haji, dan bla..bla..bla.., ritual yang dilakukan tidak untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghunjam ke dalam dirinya. Cara beragama yang tidak tulus! Mbelgedhes..! Lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang akan mudah diciptakan kalau nilai-nilai agama kita jauh dari kemunafikan, nilai-nilai agama menghunjam dalam ke jiwa penganutnya, ibadah yang dilakukan mempunyai pengaruh dan sebagai kontrol perilaku dalam keseharian. Agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Itulah cara beragama yang intrinsik, memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Saya yakin dengan itu kebersamaan, lingkungan yang kondusif penuh kasih sayang akan tercipta. Gak munafik! Opo ya gak isin tho yo...
Dan ingat lho... gak sadar sebenernya kita cenderung digiring opini dari orang-orang atau sekelompok yang amoral memanfaatkan situasi ini! Untuk menstereotip-kan golongan tertentu ke arah negatif, sehingga golongan atau kelompok mereka yang benar. Dan sering itu tanpa disadari oleh kita, karena dibungkus dalam suatu kebenaran yang bias. Terlebih sekarang dengan kemajuan media massa yang nota bene sekarang masyarakat sudah membabi buta dan menerima begitu saja bahwa berita dari media adalah sebuah kebenaran, tanpa mempertanyakan kembali kebenaran itu. Jadi suatu pasangan yang serasi: Media + propaganda. Media sangat ampuh untuk mempengaruhi pembentukan kognisi, memberikan informasi yang mana akhirnya membentuk persepsi/opini. Dan dari persepsi atau opini itu yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Coba perhatikan, sadar atau tidak bahwa selama ini proses-nya sedang terjadi. Suatu kondisi pengasosiasian yang sistematik, kita dipancing atau dikondisikan untuk melakukan hal-hal yang negatif secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya tujuan untuk menstereotip-kan ke hal negatif dicapai.
Coba saja perhatikan, Islam yang awalnya sebagai agama yang cinta damai, up-date untuk segala jaman. Tetapi dengan pemberitaan-pemberitaan sekarang proses pembentukan atau pelencengan dari label awal yang positif ke arah negatif terjadi.
Seperti contoh dibawah.
Orang kolot tidak mau perubahan.
Orang protes dan bertindak anarkis di suatu tempat menolak dibangunnya tempat ibadah agama lain
Orang tidak mau dan mengeluarkan fatwa haram mengucapkan selamat kepada pemeluk agama lain.
Orang menghancurkan tempat ibadah, merusak tempat hiburan, bawa pentungan, berwajah beringas.
Teroris membunuh, mengebom, mengenakan topeng.
Media juga secara sistematik mengasosiasikan orang Islam adalah berjenggot, bersorban, putih-putih, berjilbab, suka sholat, suka teriak Allahu Akbar! Yang tadinya hal negatif dilakukan oleh ”orang”, tetapi dengan secara terus menerus media dengan pilihan penyajian berita, pilihan angle dan pilihan highlight bahwa ”orang” yang melakukan itu adalah berjenggot, bersorban, putih-putih, berjilbab, suka sholat, suka teriak Allahu Akbar. Boooom.... Ya sudah... akhirnya impresi dari pemirsa begitulah.. dan BERHASIL! Bahwa Orang Islam yang berjenggot, bersorban, putih-putih, berjilbab, suka sholat dan suka tereak Allahu Akbar adalah kolot tidak mau perubahan, bertindak anarkis, menolak dibangunnya suatu Gereja, ogah mengucapkan selamat kepada pemeluk lain, menghancurkan tempat ibadah, bawa pentungan, beringas, membunuh, suka mengebom. Akhirnya tertanam dalam benak setiap orang bahwa Islam itu ya seperti hal diatas. Sangat disayangkan.
Kenapa hal tersebut terjadi? Ya karena kita terpancing sendiri. Coba kalau cara beragama kita sudah benar atau secara intrinsik tadi. Gak akan terpancing kita dengan masalah pembangunan tempat ibadah yang kebetulan lain dengan keyakinan di lingkungan kita contohnya. Kalau kita sudah yakin pondasi agama atau keimanan kita sudah terukir di sanubari, kenapa kita harus khawatir dengan katanya adanya isu pengalihan keyakinan. Tidak akan mempan itu untuk mengalihkan keyakinan kita. Terus kenapa kita harus menolak suatu kemajuan, seharusnya dengan kemajuan teknologi itu kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat. Dengan penghancuran tempat hiburan malam, malahan itu menunjukkan kegagalan kita menularkan atau mengajak kehidupan religi yang lebih baik. Tidak akan ada atau minimal tempat-tempat seperti itu berkurang kalau kesadaran religi sudah tinggi, maksudnya... TIDAK ADA KONSUMEN GITU LHOOOH...!! Dan balik lagi ke pertanyaan awal saya, kenapa pula kita harus antipati mengucapkan selamat yang just say congratulation kepada pemeluk lain, padahal itu hanya sebagai ucapan selamat saja, sebagai sekedar menghormati teman yang kebetulan berbeda agama. Itu tidak berarti kita loyal atau wujud pengakuan atas kebenaran mereka tho. Apakah dengan hanya mengucap itu berarti kita ikut ritual, sakramen mereka? Tidak bukan? Akan lebih jelas lagi kalau pemuka agama secara gamblang dan jelas, menjelaskan koridor mana yang boleh dan tidak boleh dilewati. Tidak malah mengambangkan (yang selama ini saya terima) antara memberi ucapan selamat dan pengakuan atas kebenaran agama mereka. Dan malah membiarkan perdebatan panas mengenai itu.
Dan sekali lagi coba perhatikan, pernahkan secara kontinyu di media disiarkan atau diwartakan perilaku negatif dari pemeluk agama lain. Kalau gak salah ingat... hampir tidak ada..! Pertanyaan juga tho, apakah yang non muslim jumlahnya lebih sedikit, jadi tidak kelihatan kegiatannya, atau apakah mereka memang memahami agamanya secara mendalam sehingga perilaku negatif itu tidak muncul, atau memang ini kondisi yang diciptakan??? Malah lebih menggelikan lagi sekarang ini banyak penyimpangan agama yang seolah-olah berbasis Islam (atribut, sholat, pakaian, budaya) sangat sering diekspos dan diwartakan di media. Pertanyaan besar tho..? Akhirnya hal tersebut akan semakin memarjinalkan kita sebagai orang Islam, melecehkan dan membenci Islam itu sendiri dan akan semakin jauh label Islam yang cinta damai dan selalu up-date dengan jaman.
Hal tersebut hanya bisa di-counter dengan kesadaran diri, memperbaiki akhlak, memperbaiki perilaku, memperbaiki sikap, menanamkan kesantunan, belas kasih dan cinta kasih sesama. Kemudian kita tularkan ke keluarga, sekolah dan lingkungan yang lebih besar (negara?) untuk menyeimbangkan asosiasi negatif tersebut. Dan sangat berharap otoritas formal dan pemerintah mendukung dan mengontrol pemberitaan secara seimbang. Saya yakin dengan itu orang akan lebih menghargai agama yang kita anut. Bonusnya..... dengan model akhlak pengikutnya (kita-kita?) yang positif, label Islam yang cinta damai akan melekat dalam di setiap benak orang. Yang mana pada akhirnya sangat berpengaruh kepada perkembangan Islam secara significant. Sampai saat ini yang membekas dalam di sanubari saya adalah tauladan junjungan kita Nabi Muhammad SAW, saat Beliau begitu dibenci, dilecehkan, baik secara mental maupun kekerasan phisik (dilempar batu, dilempar kotoran, diludahin) sudah banyak kita pelajari bagaimana santunnya Beliau menanggapi perlakuan itu masih dengan sabar dan TERSENYUM!! Luar biasa bukan. Sampai kalaupun harus berperang, bagaimana beliau memperlakukan tawanan perang begitu manusiawi, apalagi untuk wanita, anak-anak. Dan apa yang Beliau peroleh, karena dari perilaku yang santun dan baik (model/suri-tauladan), beliau mendapat simpati yang luar biasa dari yang dulu musuh, dari yang dulu non muslim, akhirnya musuh menjadi saudara dan non muslim banyak juga akhirnya yang menjadi mualaf. Tapi apa yang terjadi sekarang? Mengapa sekarang sulit dilakukan oleh kita?
Wallahu a’lam bishshawab.
Gerem Merak, 28 December 2009.
nDods
(yang masih bingung, yang masih perlu petunjuk, yang masih idiot, yang tidak bermaksud, yang hanya bertanya dan perlu jawaban, dan bukan LUNA MAYA, PRITA atau EVAN BRIMOB, jadi jangan tuntut saya dengan UU IT yaa)