Saat aku menulis ini, genap 42 hari ibunda tercinta menghadap sang Khalik. Memutar waktu ke belakang 42 hari yang lalu, terasa begitu cepat. Disaat semua bersuka cita menyambut pergantian tahun dari 2009 ke 2010 dan berlomba-lomba menggantungkan harapan yang tinggi di tahun 2010…, justru saya baru merasakan apa itu rasa kehilangan yang sebenarnya. Disaat saya mulai merasakan apa itu rasa memiliki, secepat itu pula merasakan rasa kehilangan. Cepat sekali...
Iya.. ibu tercinta telah dipanggil ke hadapan yang Maha Esa hari Rabu tanggal 30 December 2009 jam 9 pagi, setelah bergelut dengan penyakitnya selama hampir satu tahun. Mungkin itu jalan terbaik buat ibu tersayang.
Iya.. ibu tercinta telah dipanggil ke hadapan yang Maha Esa hari Rabu tanggal 30 December 2009 jam 9 pagi, setelah bergelut dengan penyakitnya selama hampir satu tahun. Mungkin itu jalan terbaik buat ibu tersayang.
IBU...., Yaaah...setiap jagoan-ku memanggil dengan kata itu ke yayang-ku, gaung-nya bak nyanyian sedih yang menggelitik gendang telinga-ku. Suara yang begitu kurindukan terucap dari mulutku untuk memanggil nama-mu, IBU. Suatu rasa yang ”baru” terpatri dalam hati. Rasa kasih sayang seorang ibu, rasa memiliki seorang ibu, rasa memiliki orang tua, rasa memiliki keluarga. Yang hampir separuh hidup-ku rasa itu enggan mampir kedalam bilik hatiku. Rasa marah dan kecewa lebih dominan mengisi relung hati ini. Marah kepada keadaan , marah kepada egoisme orang tua, marah kepada diri sendiri dan marah kepada nasib.
Dan Ibu....., maafkan marahku kepada-mu. Maafkan marahku karena tidak merasakan kasih sayang-mu, maafkan marahku karena ke-egoisan bapak ibu, dan maafkan marahku karena menyalahkan-mu. Maafkan ibu........mungkin itu perwujudan dari rasa begitu pahit ketika aku harus ”terpaksa” terpisah darimu... waktu itu saya masih begitu kecil ibu. Kecil sekali..... hanya seorang bocah yang masih butuh kehangatan.. seorang bocah yang selalu rindu nina bobo-mu setiap malam.. seorang bocah yang masih butuh air terjun kasih sayang yang seharusnya menyiram detik demi detik ke relung hati. Tapi malah kau kirim aku ke bukan ”sarang”-ku, bukan rumahku, dan bukan kasih sayang-mu.
Maafkan Ibu.... saat itu bagaimana bahagianya diriku saat ibu berkunjung menemui-ku....,bermanja, be-ria dan memuaskan hasratku akan sayang-mu. Tapi maafkan ibu... bagaimana hancurnya hati seorang bocah saat kau pulang, saat kau meninggalkan-ku. Nangisku sejadi-jadinya...hancurnya hati ini. Ibu mungkin sekarang bisa melihat dari syurga dan merasakan betapa cintaku padamu dulu. Bagaimana aku menciumi bekas piring ibu, memakai dan menempelkan di pipi gelas bekas ibu... yaaah.. bekas bibir ibu, menciumi dan menduduki kursi bekas ibu. Dan bagaimana perjuangan dan tersiksanya seorang bocah saat malam hari menciumi bantal bekas ibu, membaui sisa-sisa keringat yang menempel di bantal, karena ibu gak ada di sisiku untuk me-nina bobokanku. Liburan sekolah.... yaaah.... suatu syurga yang aku rasakan waktu itu bila liburan sekolah tiba. Karena aku bisa dengan rakus merasakan kasih-mu, bermanja, dan merengek minta sesuatu ke ibu-ku... ke kasihku sebenarnya. Dan maafkan ibu bila saat itu aku begitu manja... begitu nakal dan begitu bawel minta ini minta itu ketika ibu ajak jalan-jalan. Maklum-lah ibu...hanya itu yang bisa aku rasakan dan mereguk sepuasnya kasih-mu. Kasih ibu-ku... ibuku tersayang hanya saat libur sekolah, tidak tiap hari ibu. Tidak tiap hari....... Dan menjadi bencana ketika hari libur sudah mendekati hari akhir. Seperti batu berton-ton yang menghalangi kaki ini setiap akan melangkah ke rumah itu. Tidak-kah ibu tahu.... tak begitu cepat dan mudah untuk menggantikan-mu. Tahukah itu semua..? Aku gak bisa sebenarnya waktu itu..tidak bisa... kau tidak tergantikan. Dan belum mengerti bahwa ibu sebenernya menaruh harapan besar kepada-ku. Maafkan ibu...masih ku-bertanya, kenapa..?
Tahun berganti tahun dan seiring berjalannya waktu.... aku sudah terbiasa dengan itu semua. Dan akhirnya.......
Maafkan Ibu.... aku tahu betapa hancurnya diri-mu saat aku tumbuh menjadi seorang pemuda yang angkuh! Angkuh karena sudah mati dalam diri pemuda itu kasih sayang seorang ibu. Angkuh karena tumbuh tanpa ada pelita kasih sayang seorang ibu. Dan sangat angkuh ketika pemuda itu memadamkan bara yang masih tersisa dalam hati akan sayang-mu. PADAM..! PADAM ibu..! Menjerit hati ini saat bara itu sudah dingin menjadi seonggok batu keras yang angkuh. Dan maafkan aku ibu.... batu itu adalah AKU dan pemuda itu AKU..! Pemuda yang sangat asyik dengan ke-egoan. Asyik dengan ke-sendiri-an dan asyik menipu dirinya akan suatu rindu...RINDU AKAN SAYANG-MU..! Dan sudah lupa apa itu arti cengeng... karena memang sudah lupa untuk menangis.
Maafkan Ibu.... aku tahu betapa hancurnya diri-mu saat aku tumbuh menjadi seorang pemuda yang angkuh! Angkuh karena sudah mati dalam diri pemuda itu kasih sayang seorang ibu. Angkuh karena tumbuh tanpa ada pelita kasih sayang seorang ibu. Dan sangat angkuh ketika pemuda itu memadamkan bara yang masih tersisa dalam hati akan sayang-mu. PADAM..! PADAM ibu..! Menjerit hati ini saat bara itu sudah dingin menjadi seonggok batu keras yang angkuh. Dan maafkan aku ibu.... batu itu adalah AKU dan pemuda itu AKU..! Pemuda yang sangat asyik dengan ke-egoan. Asyik dengan ke-sendiri-an dan asyik menipu dirinya akan suatu rindu...RINDU AKAN SAYANG-MU..! Dan sudah lupa apa itu arti cengeng... karena memang sudah lupa untuk menangis.
Maafkan aku ibu... saat betapa angkuhnya aku menantang dunia dengan meninggalkan rumah yang menjadi titipan harapan-mu, rumah harapan untuk menunjukkan bahwa diriku nanti menjadi pemuda perkasa yang akan mengangkat derajat-mu. Meskipun itu bukan rumah-mu, bukan juga rumah-ku. Rumah yang bagai secercah harapan setelah semua-nya luluh lantak oleh ke-egoan dan nafsu.
AKU TINGGALKAN RUMAH ITU.... maafkan aku ibu. Dalam dadaku sudah bergolak gelembung-gelembung keangkuhan bahwa.... SAYA TIDAK BUTUH RUMAH ITU...SAYA TIDAK BUTUH PAYUNG ITU..... dan saya akan tantang dunia bahwa saya bisa tanpa itu semua. Saya sudah bosan dengan menikmati yang bukan milikku...termasuk kasih-sayang-mu ibu... kasih sayang-mu. Lebih baik aku berteriak....... SAYA TIDAK BUTUH KASIH SAYANG..!!!. maafkan ibu.... juga termasuk kasih sayang-mu. Maafkan aku ibu.... aku tidak tahu bahwa kasih ibu sepanjang jalan...kasih anak sepanjang galah. Maafkan ibu... kalau aku buta dan lupa..., betapa perjuangan-mu selama 9 bulan 10 hari.., merawat dan mempersiapkan-ku. Dan bergelut dengan nyawa saat aku sudah tak sabar melihat indahnya dunia. Aku tidak tahu itu semua ibu...aku tidak tahu. Maafkan aku..... aku tidak tahu bahwa makna kata ibu dalam segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Aku tidak tahu... bahwa ibu tidak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu. Aku tidak tahu...betapa ibu menutup telinga rapat-rapat saat adik-adik berteriak. ”Sudahlah! Jangan lagi ibu kenang anak yang hilang itu. Disini masih ada kami ibu..., anak ibu juga. Apa faedahnya menunggu mas Dodi..!!”. Karena aku memang bertahun-tahun tidak kirim khabar kepada-mu dan tidak tahu keberadaan-ku ada dimana. Maafkan aku ibu.... aku tidak tahu bahwa ibu setiap malam menghamburkan air mata dan doa untuk keselamatan-ku. Tak ada sedikit-pun ucapan dari bibir-mu untuk mengutuk diriku, menjadi batu misalnya. AKU TIDAK TAHU IBU..!
Kini saatku tahu...saat-ku tersadarkan hantaman batu karang kehidupan, bangun dari pingsan-ku.... sosok ibu yang selalu membayang. Keangkuhan-ku runtuh saat aku tahu ganasnya kehidupan.. saat aku ikut ujian hidup... IBU.... aku butuh kasih-sayang-mu. Detik demi detik hari demi hari sampai tahun demi tahun..., aku jalani ujian menantang dunia.... mungkin aku tidak tahu bahwa dengan doa-mu, harapan-mu.. aku lewati ujian itu. Aku pahami ujian itu dan aku resapi hasil dari ujian itu. Hasilnya satu ibu....KASIH IBU tak ada batasnya..... dan aku butuh ibu....
Batu angkuh itu sedikit demi sedikit hangat...hangat..dan hangat sehingga menjadi arang. Aku sudah sangat gembira dengan itu semua..., saat adik-ku tersayang bertemu diriku dan menyampaikan salam dari ibu.. Arang itu bertambah hangat... Dan saat kau mengunjungi-ku di ”perantauan”-ku. Aku begitu bahagia..dan maafkan ibu... saat itu mungkin keluar dari mulut-ku yang mungkin menjadikan ibu sedih. Tapi ibu... arang yang ada di tubuh ini semakin hangat dan mendekati panas. Aku bahagia sekali ibu. Bahagia bahwa ”tantangan”-ku sedikit merubahku dan menghangatkan tubuh ini. Aku mungkin tidak akan tahu dan batu di dalam mungkin makin menjadi pualam yang begitu dingin jikalau aku tak tinggalkan rumah harapan itu.
Dan arang itu berubah menjadi bara... saat ibu merestui yayang-ku untuk menjadi pendamping-ku. Yaaah..... BARA ITU SUDAH KEMBALI..! dan bara itu makin menjadi api saat lahir cucu-cucu-mu dari garis darah-ku, darah-mu ibu.. darah kasih sayang yang sempat hilang. Aku bahagia sekali ibu.. bahagia sekali. Seiring tumbuh kembang cucu-mu, seiring itu pula bara itu menjadi api yang menjilat-jilat di dalam tubuh ini....SEMAKIN MEMBARA IBU. Api itu menular ke adik-adikku. Aku bahagia sekali ibu... bahagia sekali.
Api dalam keluarga kita makin hangat saat adik-adikku tersayang menikah, dan memberikan cucu-cucu yang sangat manis. Cucu-cucu kebanggaan-mu ibu. Ibu patut bangga... , ibu patut mendapatkan itu semua. Dengan perjuangan dan begitu banyak mengorbankan perasaan, yang mana akhirnya berakhir bahagia. Anak-anakmu semua bisa mandiri ibu...mandiri.. yeeeaaah... mandiri. Ijinkan aku berteriak ibu...ijinkan..ijinkan ibu..... KAMI SEMUA SUDAH MANDIRI IBU...!!!
Api itu makin menyala-nyala saat lebaran tiba.. saat kami mudik untuk menemui keharibaan-mu. Saat itu begitu indah... indah sekali. Suasana yang diisi dengan celotehan cucu-cucu-mu, celotehan ”kesombongan” anakmu menceritakan apa yang telah dicapai. Itu semua membuat ibu tersenyum...tersenyum... dan tersenyumlah ibu. Yang mungkin senyum itu engkau tahan seiring anak-anak-mu tumbuh dewasa. Senyum yang sangat mahal ibu...mahal sekali. Sekarang tersenyumlah ibu...TERSENYUMLAH..!
Namun......., begitu cepat Yang di Atas memanggilmu.., saat engkau belum puas tersenyum, saat telinga ibu belum ”pengeng” mendengar celotehan cucu-cucu-mu dan saat ibu belum puas mendengar kesombongan-kesombongan dari anak-anakmu tentang pencapaiannya. Begitu cepat ibu..begitu cepatnya ibu meninggalkan kita semua. Saat aku belum puas mereguk itu semua. Engkau begitu cepat pergi... Kini tidak akan kutemui lagi senyum ibu, sambil duduk di kasur itu, kasur kesayangan-mu dan seolah menjadi singgasana-mu. Ibu...tersenyum dan kadang terbahak melihat celotehan cucu-cucumu dan candaan anak-anak-mu yang tiba-tiba menjadi anak kecil kembali. Sekarang kasur itu kosong ibu.... KOSONG.......
Tapi kami semua ikhlas melepas kepergian-mu. Dan maafkan kami karena hanya satu anakmu yang bisa mengantar ke peristirahatan-mu, itu karena kami semua ingin ibu segera menghadap. Kami ikhlas ibu, karena kami yakin itu jalan terbaik yang diberikan Allah kepada-mu ibu. Tersenyumlah ibu....tersenyumlah... meskipun itu di Syurga............kami semua titip doa kepada-mu. SELAMAT JALAN IBU TERSAYANG............
AKU, SUSI, TITIN DAN HERI akan selalu berdoa untuk-mu. Aku dan adik-adik akan menyalakan terus obor sayang-mu sampai ke cucu-cucu-mu, buyut-buyut-mu. Karena kita semua mencintai-mu Ibu.
Pesanku untuk adik-adik tercinta..... jagalah keluargamu sebaik kamu semua menjaga sayang ibu. Dan yakinlah... ibu tidak mau apa yang dirasakan anak-anak-nya menimpa juga di cucu-cucu-nya. Jagalah itu adik-adikku.... Aku juga akan menjaga keluarga-ku sebaik-baiknya. Meskipun godaan datang silih berganti... mari kita lewati itu semua... sebelumnya kita mampu melewati-nya. Sekarang-pun juga harus bisa.
Gerem Merak, 9 February 2010
Anakmu yang selalu mencintaimu
Kendhil
(panggilan sayang-mu)
(panggilan sayang-mu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar