Pernahkah kita merasa “iri” dengan
keberhasilan seseorang? Yang kebetulan kita lihat di televisi atau media massa
lain yang memperlihatkan seorang yang di usia muda sudah menikmati suatu
pencapaian yang luar biasa. Atau pulang dari acara reuni, terperangah dengan
“keberhasilan” teman-teman main kita dahulu. Apalagi teman SMA tersebut pada
jaman-nya adalah pribadi yang ndeso, tidak gaul dan tidak setenar atau sepintar
kita. Dada terasa sesak dan timbul rasa
terpukul. Hal manuasiawi karena kita masuk dalam situasi sebagai “pecundang”.
Lain halnya dalam lingkup kecil, lingkungan RT misalnya, kedudukan sosial
dengan parameter kekuatan financial, kita masuk dalam kasta paling tinggi di
lingkungan RT itu, timbul perasaan bangga didada atas pencapaian kita. Rasa
yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa
‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan.
Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering
kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk,
pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan
cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi “sulit” ini, baik kondisi moral
maupun material, kesenjangan yang menganga lebar, budaya konsumerisme akut,
lemahnya solidaritas dan tindakan amoral yang silih berganti ditontonkan di
media massa, mau tidak mau kita akan terlibat didalamnya. Harus siap
menghadapai kondisi ini dan harus siap pula dengan konsekwensinya. Lebih kecut
lagi, bila kita sedang dalam posisi tidak beruntung, menjadi pihak yang
“pecundang” misalnya. Menghadapi situasi
ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat
pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu
terus sampai keadaan lebih baik?
Disadari atau tidak, sikap pecundang
yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja dan akan
mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing menghadapi
kehidupan yang kejam ini. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan
semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Perasaan sulit
memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap
jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian
kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.
Pemenang sejati adalah yang
memperhitungkan kekalahan
Seorang pemenang ya harus siap kalah!
Dalam arti, siap memperhitungkan pada suatu saat akan kalah. Jangan terlena
dengan kemenangan. Salah satu contoh
dalam keluarga seringkali terjebak bahwa anak sulung adalah harapan keluarga, selalu
‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi
kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya.
Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan.
Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan
konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Jangan salah, dia memang
seorang pemenang dan sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang
yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada
yang bisa “menghalalkan” segala cara demi mempertahankan posisi
pemenangnya. Menjadi pribadi yang ngawur
untuk mencapai kemenangan, contoh yang paling jelas pribadi seperti ini adalah
seorang koruptor! Seperti awal pembuka tulisan ini, karena merasa “kalah”
dengan teman SMA kita, mempunyai semangat yang membara untuk berbuat apapun dan
ngawur untuk sekedar mendapat “wah” dari temen maen kita. Opo untunge kalau wah
itu dating dari hal yang tidak benar? Semu!
Orang yang berusaha menang secara
obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa malu,
biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap
bahkan menunjukkan kemarahan. Coba perhatikan teman-teman kita di kantor. Salah
satu teman kita pasti ada yang selalu sukses dalam pekerjaan-nya, semua tugas
terselesaikan dengan baik, dan selalu menjadi prioritas boss. Tapi suatu saat
mereka dalam kondisi tertekan karena dinamisasi pekerjaan dan competitor teman
sejawat, ada yang bersikap meledak-ledak dalam mengekspresikannya. Apa kesan
kita kepada teman tersebut? Kesan bahwa dirinya bukan sebagai pemenang tetapi
justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan,
tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi
apapun.
Menang yang sebenarnya adalah termasuk
memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan
main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua
konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu
situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini
berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.
Berniat Benar, Bergerak, Bertindak
Pada dasarnya manusia normal itu ingin
melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi
memang secara natural mempunyai sikap demikian. Jadi sejahat-jahatnya seorang
pribadi, suatu saat pribadi tersebut akan “kembali”. Kenyataan ini sebenarnya
cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar
dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang
kurang menguntungkan. Seringkali kita mencanangkan niat bahkan mendeklarasikan
untuk suatu perubahan yang benar dalam hidup. Namun, sikap merasa berniat benar
ini saja belum cukup. Harus disambung dengan komitmen untuk berusaha, berubah,
bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Untuk
menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk”
ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.
Memelihara Semangat Pemenang
Kondisikan dalam lingkungan keluarga,
kata-kata positif pemberi semangat menjadi kebiasaan. “Ayo pintar, kamu yakin
bisa” Atau mendengar kata-kata support dari pasangan kita saat kita merasa
memasuki area “pecundang”. Pertama
mungkin akan terasa lebay menerima kata-kata penyemangat itu., tetapi
lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke
orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk
membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati. Hindari
kata-kata yang membuat drop semangat.
Disamping itu sangat perlu memelihara
semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Tingkat
kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, atau
berani “hijrah” dengan kondisi sekarang yang dirasa belum sesuai dengan
keinginan kita, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan
mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung
berhenti. Dan senantiasa bersyukur dan
bangga atas pencapaian kita, akan mengurangi sedikit nafsu menjadi pemenang
yang ngawur!
Merak, 2 July 2011
Dodi
Suprapto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar