Sabtu, 13 Agustus 2011

Berjiwa Pemenang

Pernahkah kita merasa “iri” dengan keberhasilan seseorang? Yang kebetulan kita lihat di televisi atau media massa lain yang memperlihatkan seorang yang di usia muda sudah menikmati suatu pencapaian yang luar biasa. Atau pulang dari acara reuni, terperangah dengan “keberhasilan” teman-teman main kita dahulu. Apalagi teman SMA tersebut pada jaman-nya adalah pribadi yang ndeso, tidak gaul dan tidak setenar atau sepintar kita.  Dada terasa sesak dan timbul rasa terpukul. Hal manuasiawi karena kita masuk dalam situasi sebagai “pecundang”. Lain halnya dalam lingkup kecil, lingkungan RT misalnya, kedudukan sosial dengan parameter kekuatan financial, kita masuk dalam kasta paling tinggi di lingkungan RT itu, timbul perasaan bangga didada atas pencapaian kita. Rasa yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa ‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan.
Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi “sulit” ini, baik kondisi moral maupun material, kesenjangan yang menganga lebar, budaya konsumerisme akut, lemahnya solidaritas dan tindakan amoral yang silih berganti ditontonkan di media massa, mau tidak mau kita akan terlibat didalamnya. Harus siap menghadapai kondisi ini dan harus siap pula dengan konsekwensinya. Lebih kecut lagi, bila kita sedang dalam posisi tidak beruntung, menjadi pihak yang “pecundang” misalnya.  Menghadapi situasi ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu terus sampai keadaan lebih baik?
Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing menghadapi kehidupan yang kejam ini. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Perasaan sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.
Pemenang sejati adalah yang memperhitungkan kekalahan
Seorang pemenang ya harus siap kalah! Dalam arti, siap memperhitungkan pada suatu saat akan kalah. Jangan terlena dengan kemenangan.  Salah satu contoh dalam keluarga seringkali terjebak bahwa anak sulung adalah harapan keluarga, selalu ‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya. Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Jangan salah, dia memang seorang pemenang dan sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada yang  bisa “menghalalkan” segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.  Menjadi pribadi yang ngawur untuk mencapai kemenangan, contoh yang paling jelas pribadi seperti ini adalah seorang koruptor! Seperti awal pembuka tulisan ini, karena merasa “kalah” dengan teman SMA kita, mempunyai semangat yang membara untuk berbuat apapun dan ngawur untuk sekedar mendapat “wah” dari temen maen kita. Opo untunge kalau wah itu dating dari hal yang tidak benar? Semu!
Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa  malu, biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Coba perhatikan teman-teman kita di kantor. Salah satu teman kita pasti ada yang selalu sukses dalam pekerjaan-nya, semua tugas terselesaikan dengan baik, dan selalu menjadi prioritas boss. Tapi suatu saat mereka dalam kondisi tertekan karena dinamisasi pekerjaan dan competitor teman sejawat, ada yang bersikap meledak-ledak dalam mengekspresikannya. Apa kesan kita kepada teman tersebut? Kesan bahwa dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi apapun.
Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.
Berniat Benar, Bergerak, Bertindak
Pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Jadi sejahat-jahatnya seorang pribadi, suatu saat pribadi tersebut akan “kembali”. Kenyataan ini sebenarnya cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang kurang menguntungkan. Seringkali kita mencanangkan niat bahkan mendeklarasikan untuk suatu perubahan yang benar dalam hidup. Namun, sikap merasa berniat benar ini saja belum cukup. Harus disambung dengan komitmen untuk berusaha, berubah, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Untuk menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.
Memelihara Semangat Pemenang
Kondisikan dalam lingkungan keluarga, kata-kata positif pemberi semangat menjadi kebiasaan. “Ayo pintar, kamu yakin bisa” Atau mendengar kata-kata support dari pasangan kita saat kita merasa memasuki area “pecundang”.  Pertama mungkin akan terasa lebay menerima kata-kata penyemangat itu., tetapi lama-kelamaan timbul  emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati. Hindari kata-kata yang membuat drop semangat.
Disamping itu sangat perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, atau berani “hijrah” dengan kondisi sekarang yang dirasa belum sesuai dengan keinginan kita, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berhenti.  Dan senantiasa bersyukur dan bangga atas pencapaian kita, akan mengurangi sedikit nafsu menjadi pemenang yang ngawur!

Merak, 2 July 2011
Dodi Suprapto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar