Senin, 15 Agustus 2011

Kritik, menumbuhkan budaya bertanya

Anda kritik saya? Apa anda sendiri sudah benar dalam segala hal? Kok berani-beraninya mengkritik .”  Hehehe… pertanyaan balik itu yang sering kita dengar kalau ada orang yang dikritik, tetapi tidak terima dengan kritikan yang disampaikan. Mengkritik, hal sederhana tetapi sangat susah dikompromikan antara yang mengkritik dan yang dikritik. Ternyata gaya komunikasi biang keladinya. Gaya komunikasi tanpa disadari sering menjadi masalah. Teman bahkan sahabat sendiri pun akan terluka kalau kritik tersebut disampaikan dengan gaya bahasa yang kasar. Dan tidak semua orang sama dalam menerima gaya bahasa yang kita sampaikan.
Di lingkungan kerja, tidak sedikit orang yang dihindari rekan-rekan kerja yang lain karena mulutnya berduri! Atau atasan yang hanya mengandalkan komunikasi satu arah. Tanpa sadar, omongan yang keluar dari mulutnya sering menyakiti orang. Padahal dia menyampaikan kebenaran, cuma cara bicara yang cenderung kasar dan tanpa tedeng aling-aling, sering membuat rekan-rekan kerja lain tersinggung berat.  Menyampaikan kebenaran saja susah, apalagi kalau kebenaran itu disampaikan dengan cara yang kasar!
Gaya komunikasi seseorang sangat dipengaruhi nilai-nilai yang dianut orang tersebut. Contoh seseorang yang berasal dari keluarga atau lingkungan yang terbiasa dengan suasana demokratis akan cenderung lebih terbuka dan sedikit “kasar” karena secara telanjang menyampaikan apa adanya. Bicara tanpa dibungkus. Sebaliknya kalau seseorang selalu dibelenggu dengan budaya sopan santun dan birokratis, cenderung mudah mengatakan ya dan “agak” sulit menerima kritik yang disampaikan sedikit kasar. Hatinya akan mudah terluka. Dan seringkali mempertahan kondisi harmonis, budaya menghindari konflik, sehingga yang terjadi adalah komunikasi semu, yang tidak mencerminkan pendapatnya sendiri.
Saya tidak mendukung atau membenarkan si mulut berduri atau tidak setuju juga dengan budaya sopan santun. Tetapi bagaimana mengkombinasikan kedua hal tersebut menjadi system komunikasi yang diterima kedua belah pihak. Kebenaran tersampaikan dan penerima kritik tidak terlukai. Tidak terlalu telanjang dan tidak munafik! Apakah sekarang susah mendapat tempat untuk orang-orang yang suka berterus teang? Benar dibilang benar, salah dibilang salah?.
Tidak ada yang salah dengan kritik, justru itu harus dibangunkan menjadi budaya! Budaya “cerewet” dalam arti mengkritik dan menuntut perbaikan harus dihidupkan. Dikhawatirkan kalau tidak ada budaya kritik, yang artinya lebih memperthankan keharmonisan semu, kemajuan atau solusi-solusi yang membangun tidak didapatkan.
Tinggal bagaimana kita mengolah kritik tersebut bisa tersampaikan dan diterima.  Pengkritik apabila menyampaikan sesuatu (kritik) hindari kecenderungan berkonotasi “siapa yang salah” tetapi menyampaikan  “apa yang salah”. Karena apabila yang tersampaikan siapa yang salah, takkan ada solusinya, sebab yang bersangkutan akan berusaha menolak atau mempertahankan diri. Tetapi apabila yang disampaikan “apa yang salah” akan lebih diterima dan menemukan proses yang salah, debat yang diakibatkan dari kritik itu sendiripun akan berlangsung dengan adu argumentasi yang mencari suatu solusi, karena membahas suatu proses. Bukan debat kusir karena masing-masing saling mempertahankan diri karena tidak terima disalahkan. Dengan sendirinya orang yang dikritik itu memahami kesalahannya. Yang mengkritik pun terhindarkan dari label cerewet, nyinyir, penyindir ataupun mulut berduri. Yang utama dalam penyampaian suatu kritik adalah pemilihan kata-kata agar keterbukaan tak saling menyakiti. Pikirkanlah dahulu baik-baik sebelum mengucapkan sesuatu. Kalau ini sduah terbiasa, terciptalah seni komunikasi dan berdebat. Komunikasi akan lebih efektif dan efisien apabila dijalankan dengan resep berikut:
Jelas, kata-kata harus jelas mengurai maksud kita
Lugas, hati harus terbuka, tak ada niatan tersembunyi, bebas dari niat buruk.
Tegas.  Sampaikan opini murni dari kita, hindarkan kata si anu, kata si ono atau yang lebih parah mencatut nama orang, karena terpikir untuk mencari aman dan menghindari konflik. Padahal itu adalah murni opini kita.
Sebagai penerima kritik pun, sebenarnya jangan langsung frontal melawan apa yang disampaikan. Tidak ada salahnya kita intropeksi diri. Mungkin memang ada yang salah dengan kita. Berpikirlah positif bahwa kesalahan itu adalah hal yang jamak terjadi. Kita tidak bisa menghindari suatu kesalahan. Analisa kritik yang disampaikan, kalau ternyata kritik tersebut “diboncengi” niatan buruk dari pengirim kritik, misalnya rasa iri, dengki atau hal culas lainnya. Abaikan saja kritik tersebut. Tetapi kalau itu kritik membangun, tidak ada salahnya kita terima untuk perbaikan kita sendiri.
Dengan terbiasanya pengkritik maupun yang dikritik tau akan apa yang harus dilakukan, tau apa yang harus disingkapi, saya yakin tidak ada istilah cerewet, ngeyel, tambeng dan sebagainya.
Merak, 15 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar