Anda
kritik saya? Apa anda sendiri sudah benar dalam segala hal? Kok
berani-beraninya mengkritik .” Hehehe…
pertanyaan balik itu yang sering kita dengar kalau ada orang yang dikritik,
tetapi tidak terima dengan kritikan yang disampaikan. Mengkritik, hal sederhana
tetapi sangat susah dikompromikan antara yang mengkritik dan yang dikritik.
Ternyata gaya komunikasi biang keladinya. Gaya komunikasi tanpa disadari sering
menjadi masalah. Teman bahkan sahabat sendiri pun akan terluka kalau kritik
tersebut disampaikan dengan gaya bahasa yang kasar. Dan tidak semua orang sama
dalam menerima gaya bahasa yang kita sampaikan.
Di
lingkungan kerja, tidak sedikit orang yang dihindari rekan-rekan kerja yang
lain karena mulutnya berduri! Atau atasan yang hanya mengandalkan komunikasi
satu arah. Tanpa sadar, omongan yang keluar dari mulutnya sering menyakiti
orang. Padahal dia menyampaikan kebenaran, cuma cara bicara yang cenderung
kasar dan tanpa tedeng aling-aling, sering membuat rekan-rekan kerja lain
tersinggung berat. Menyampaikan
kebenaran saja susah, apalagi kalau kebenaran itu disampaikan dengan cara yang
kasar!
Gaya
komunikasi seseorang sangat dipengaruhi nilai-nilai yang dianut orang tersebut.
Contoh seseorang yang berasal dari keluarga atau lingkungan yang terbiasa
dengan suasana demokratis akan cenderung lebih terbuka dan sedikit “kasar”
karena secara telanjang menyampaikan apa adanya. Bicara tanpa dibungkus.
Sebaliknya kalau seseorang selalu dibelenggu dengan budaya sopan santun dan
birokratis, cenderung mudah mengatakan ya dan “agak” sulit menerima kritik yang
disampaikan sedikit kasar. Hatinya akan mudah terluka. Dan seringkali
mempertahan kondisi harmonis, budaya menghindari konflik, sehingga yang terjadi
adalah komunikasi semu, yang tidak mencerminkan pendapatnya sendiri.
Saya
tidak mendukung atau membenarkan si mulut berduri atau tidak setuju juga dengan
budaya sopan santun. Tetapi bagaimana mengkombinasikan kedua hal tersebut
menjadi system komunikasi yang diterima kedua belah pihak. Kebenaran
tersampaikan dan penerima kritik tidak terlukai. Tidak terlalu telanjang dan
tidak munafik! Apakah sekarang susah mendapat tempat untuk orang-orang yang
suka berterus teang? Benar dibilang benar, salah dibilang salah?.
Tidak
ada yang salah dengan kritik, justru itu harus dibangunkan menjadi budaya!
Budaya “cerewet” dalam arti mengkritik dan menuntut perbaikan harus dihidupkan.
Dikhawatirkan kalau tidak ada budaya kritik, yang artinya lebih memperthankan
keharmonisan semu, kemajuan atau solusi-solusi yang membangun tidak didapatkan.
Tinggal
bagaimana kita mengolah kritik tersebut bisa tersampaikan dan diterima. Pengkritik apabila menyampaikan sesuatu
(kritik) hindari kecenderungan berkonotasi “siapa yang salah” tetapi
menyampaikan “apa yang salah”. Karena
apabila yang tersampaikan siapa yang salah, takkan ada solusinya, sebab yang
bersangkutan akan berusaha menolak atau mempertahankan diri. Tetapi apabila
yang disampaikan “apa yang salah” akan lebih diterima dan menemukan proses yang
salah, debat yang diakibatkan dari kritik itu sendiripun akan berlangsung
dengan adu argumentasi yang mencari suatu solusi, karena membahas suatu proses.
Bukan debat kusir karena masing-masing saling mempertahankan diri karena tidak
terima disalahkan. Dengan sendirinya orang yang dikritik itu memahami
kesalahannya. Yang mengkritik pun terhindarkan dari label cerewet, nyinyir,
penyindir ataupun mulut berduri. Yang utama dalam penyampaian suatu kritik adalah
pemilihan kata-kata agar keterbukaan tak saling menyakiti. Pikirkanlah dahulu
baik-baik sebelum mengucapkan sesuatu. Kalau ini sduah terbiasa, terciptalah
seni komunikasi dan berdebat. Komunikasi akan lebih efektif dan efisien apabila
dijalankan dengan resep berikut:
Jelas, kata-kata harus jelas mengurai maksud
kita
Lugas, hati harus terbuka, tak ada niatan
tersembunyi, bebas dari niat buruk.
Tegas.
Sampaikan opini murni dari kita, hindarkan kata si anu, kata si ono atau
yang lebih parah mencatut nama orang, karena terpikir untuk mencari aman dan
menghindari konflik. Padahal itu adalah murni opini kita.
Sebagai
penerima kritik pun, sebenarnya jangan langsung frontal melawan apa yang
disampaikan. Tidak ada salahnya kita intropeksi diri. Mungkin memang ada yang
salah dengan kita. Berpikirlah positif bahwa kesalahan itu adalah hal yang
jamak terjadi. Kita tidak bisa menghindari suatu kesalahan. Analisa kritik yang
disampaikan, kalau ternyata kritik tersebut “diboncengi” niatan buruk dari
pengirim kritik, misalnya rasa iri, dengki atau hal culas lainnya. Abaikan saja
kritik tersebut. Tetapi kalau itu kritik membangun, tidak ada salahnya kita
terima untuk perbaikan kita sendiri.
Dengan
terbiasanya pengkritik maupun yang dikritik tau akan apa yang harus dilakukan,
tau apa yang harus disingkapi, saya yakin tidak ada istilah cerewet, ngeyel,
tambeng dan sebagainya.
Merak,
15 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar