Seandainya
yaa.. seandainya, dalam menjalani hidup ini kita diberi jalan yang begitu jelas
oleh yang Maha Kuasa. Ada marka jalan, ada penunjuk jalan disetiap
persimpangan, bahkan kalau bisa dilengkapi traffic light! Jadi bisa mengetahui
saatnya meneruskan perjalanan dengan aman karena lampu hijau, atau harus
berhati-hati ataupun berhenti sejenak karena lampu kuning atau hijau.
Ya
seandainya. Kenyataannya, hidup atau perjalanan hidup harus dijalani dengan
kaburnya penunjuk jalan itu. Ya saya katakan kabur, karena sebenarnya kita
sudah diberi penunjuk jalan yang abadi, yaitu mata hati sebagai jendelanya
nurani, tetapi berapa persen kita dalam hidup memperhatikan petunjuk itu?
Sengaja mengaburkan atau membutakan? Padahal itu petunjuk yang sangat terang
benderang. Petunjuk yang seharusnya membimbing kita apabila menemui
persimpangan dalam menjalani hidup. Dan harus memilih salah satu jalan
tersebut. Tentunya masing-masing jalan di depan sana sudah dihadapkan suatu
konsekwensi yang kita belum mengetahuinya. Karena kita belum melewati jalan
tersebut. Tetapi tetap harus dihadapkan suatu pilihan, mana jalan yang akan
dipilih.
Hidup ada didalam wilayah kekuasaan waktu. Dan
waktu dengan pongahnya selalu berjalan ke depan, tidak ada putar balik, tidak
ada penyesalan. One way only! Kalaupun
kita salah dalam memilih jalan, tidak harus dan tidak bisa kita putar
balik, tetapi dihadapkan kembali untuk memilih! Memilih jalan yang ada di
hadapan kita! Suatu pilihan yang sulit bukan? Bayangan akan salah dalam memilih
jalan (lagi)menghantui? Apa yang kita butuhkan? Apa yang bisa membantu kita
mendapatkan petunjuk dan marka jalan yang benar-benar jelas? Sederhana.
Terangkan kembali mata hati, jernihkan kata hati. Melihat dengan mata hati,
mendengar dengan kata hati. Karena mengandung
petunjuk dan kejujuran hakiki dan menjadi jendela nurani. Nurani adalah si
Bijak!
Cobalah
sedikit menyingkirkan super power-nya pikiran. Otak atau pikiran hanya
mengagungkan logika. Benar salah, untung rugi, masuk akal tidak masuk akal.
Sedangkan mata hati melihat dengan kejujuran, kejernihan kata hati berbicara
masalah apa yang harus dilakukan. Sesuatu yang sejalan dengan nurani. Kaburnya
mata hati dan kati hati sehingga nurani terkubur dalam lubuk hati, adalah
karena sudah terkaburnya dengan akal pikiran yang mempunyai kemampuan berpikir
ratusan hal dalam hitungan menit!
Tidak
mudah memang, tetapi apakah rela terus menerus menjadi kendali pikiran. Coba
sibakkan ratusan sinyal dari otak itu untuk sekedar medengar bisikan kata hati, lalu lihatlah
dengan mata hati. Ambil jeda itu dari otak dengan berdoa. Karena berdoa adalah
kekuatan untuk mengambil jeda dan mengosongkan pikiran. Manfaatkan jeda
itu untuk mendengar jernihnya kata hati.
Tidak ada salahnya mendengar saran dari orang lain yang biasanya terucap setiap
kali kita dihadapkan pada suatu kebingungan, dan juga biasanya menjadi saran
terakhir,”Coba bertanya kepada hatimu, apa kata hatimu?.
Gundah
gulana, risaunya hati adalah konsekwensi
mengingkari kata hati dan menutup mata hati. Yakinkah seorang pencuri,
koruptor, politik culas dan penjahat bengis tidak gundah hatinya? Sangat yakin
saya, pasti gundah, risau dan akan cenderung depresi. Karena terus menerus
mengingkari kata hati bahwa mencuri itu jelek, mengambil dan memanipulasi yang
bukan hak itu jelek, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu jelek
dan membunuh itu jelek. Kenapa bisa saya seyakin itu, karena saya mengalaminya!
Dan tidak menutup kemungkinan pernah anda alami juga. Apa yang anda rasakan?
So, masihkah terus mengingkarinya?
Memang
kadangkala dan kebanyakan mendengar kata hati akan menimbulkan hal yang sangat
bertentangan dengan logika. Dan biasanya juga akan mengakibatkan penderitaan! Kalau
tidak korupsi, takut menjadi miskin. Kalau tidak culas, sampai kapan tujuan
tercapai. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai hari inipun saya masih gundah gulana
karena belum mau mendengar kata hati. *menangis*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar